Tanggal 14 Januari 2016 kemaren, Jakarta digegerkan dengan serangan
bom. Insiden di Jl. MH. Thamrin yang menewaskan tujuh orang dan
menyebabkan belasan korban luka-luka ini, diduga kuat didalangi oleh
kelompok radikal, sebuah organisasi Islam garis keras yang mengatas
namakan Islam. Sebuah organisasi yang semakin membuat nama Islam
terpuruk dimata dunia, dengan aksi-aksi brutal dan tak
berperikemanusiaannya.
Dalam serangan yang menurut Ali Fauzi, seorang mantan teroris, gagal
total karena pelaku dan intensitas serangan yang tergolong amatiran ini,
sudah membuat Indonesia dan beberapa negara tetangga, seperti Malaysia
dan Singapura menjadi siaga. Karena kita tentu tidak menginginkan,
terulang kembalinya tragedi serupa.
Salah Paham
Banyak yang salah penafsiran tentang makna kata jihad
akhir-akhir ini. Banyak pula yang mudah terdoktrin dengan iming-iming
meninggal dunia secara “terhormat” sebagai syahid. Padahal konsep jihad bil qital,
dengan memakai metode peperangan ala Islam, jauh dari apa yang dapat
kita saksikan dari sepak tejang organisasi-organisasi radikal yang
mengatas namakan Islam, dengan membuat onar, mengebom beberapa
tempat-tempat umum, atau bahkan menculik dan merampas harta warga sipil.
Jihad bil qital, belum dapat dipraktikkan di Indonesia. Indonesia masih merupakan dârus salâm, negara yang aman. Dan bukan dârul qitâl,
medan perang. Kita tentu ingat, peristiwa pertempuran 10 November,
ketika itu, kota Surabaya diserang oleh angkatan perang Inggris, pada
saat itulah jihad bil qital baru bisa dipraktikkan di Indonesia. Dimana semua orang yang berada di Surabaya dan sekitarnya, dengan jarak masafah qoshr, jarak orang diperbolehkan meringkas rakaat salat. Waktu itu, warga dalam radius 94 KM diharuskan membela kedaulatan Surabaya.
Jika dalam kaidahnya, inti dari jihad sebenarnya bukan
berperangnya. Berperang hanya akan menjadi jalan terakhir. Dulu, dalam
melaksanakan ekspedisi penyebaran Islam ke negeri-negeri di sekitar
jazirah Arab, Nabi Muhammad SAW tidak sembarangan dalam menyerang
“musuh-musuhnya.” Terlebih dulu ditempuh jalur diplomatis dengan
berkirim surat. Diberi tawaran untuk masuk Islam atau membayar pajak.
Syaikh Bakri Syatha, dalam kitabnya I’ânah Al-Thâlibîn, mengutip
keterangan Syaikh Khâtib Al-Syirbiny, beliau menuliskan, bahwa
“Kewajiban berjihad sebenarnya hanya sebatas wajib wasâil, wajib sebagai perantara untuk menempuh maksud dan tujuan tertentu. Bukan wajib maqâshid, intisari. Tujuan utama berjihad sebenarnya adalah sebagai media perantara menyampaikan hidayah.”
Agar orang-orang non muslim mau mengenal Islam dengan benar dan
akhirnya masuk Islam. “Juga ada beberapa tujuan inti lain, seperti bisa
meninggal dunia sebagai syuhada. Adapun membunuh orang-orang
kafirnya, itu bukanlah menjadi tujuan utama. Sehingga kalau saja
memungkinkan memberikan hidayah dengan menegakkan dalil-dalil agama,
maka hal itu akan lebih baik.”(ᵃ) Artinya, dizaman modern seperti ini,
sudah “usang” berjihad dengan metode berperang. Untuk lebih maslahatnya,
ditempuh dengan pendekatan lain, seperti syiar dan dakwah.
Kekeliruan Gerakan Islam Radikal MEMAKNAI JIHAD
INSERT FOTO "KORBAN BOM TAMRIN
Merujuk pada “cerita masa lalu”, dan khazanah klasik, setidaknya,
beberapa gerakan Islam radikal telah mengubah haluan metode jihad
konservatif menjadi konvensional. Yang kata sebagian tokoh, adalah
“perang tidak teratur”. Serangan tidak lagi menyasar tempat-tempat, atau
wilayah yang dipersepsikan sebagi musuh. Baik aparat negara,
instansi-instansi, simbol-simbol, bahkan warga sipil. Padahal, Islam
tidak pernah menarget warga sipil dalam ekspedisi militernya dulu.
Tentara muslim dalam berjihad hanya akan menyerang pasukan bersenjata
dan pasukan-pasukan musuh yang melawan. Untuk kemudian setelah kekuatan
militer musuh dapat dikalahkan, Islam tidak lantas membunuh warga sipil
non muslim yang tersisa, namun menegakkan perdamaian di daerah yang
ditaklukkan. Coba kita tengok, setelah Sultan Muhammad Al-Fatih berhasil
meruntuhkan tembok kota Konstantinopel dan mengalahkan pasukan militer
Romawi di kota tersebut, beliau tidak lantas menyerang warga sipil non
muslim. Bahkan meruntuhkan gereja-gereja merekapun tidak. Mereka
dibebaskan untuk memeluk agama mereka, dan umat Islam mampu hidup
berdampingan dengan yang non muslim dengan tenang. Nabi Muhammmad SAW
sendiri pernah berpesan kepada sahabat Umar RA. yang kala itu belum
menjadi khalifah, jika nanti Islam sampai ke Mesir dibawah kekuasaannya,
maka biarkan dan jangan ganggu penduduk Kristen Koptik yang tinggal di
sana.
Kemudian tindakan yang dilakukan kelompok garis keras, seperti ISIS,
bukanlah apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kita bisa melihat
dengan jelas, ISIS menghalalkan bunuh diri, yang jelas-jelas dilarang
dalam agama. Ada kaidah fikih yang berbunyi,
الضرر يزال
“Kemadharatan harus dihilangkan”
Yang juga bermuara dari hadis,
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak dibenarkan menyakiti diri dan membahayakan orang lain”
Ulama kontemporer Yusuf Qardhawi dalam bukunya, Fiqh Jihad, secara
langsung menjelaskan tentang keharaman bom bunuh diri. Jangankan bom
bunuh diri, tindakan yang lebih ringan sekalipun, seperti melubangi
hidung dengan tujuan memasang perhiasan saja dalam fathul mu’in dilarang, karena termasuk perbuatan menyakiti diri yang tak ada gunanya.
Memang, dalam kitab Fatawi Isma’il Zain, status orang non muslim di Indonesia termasuk kafir harbi, karena persyaratan untuk menjadi kafir dzimmah, mu’ahad, apalagi musta’man tidak terpenuhi. Namun meskipun begitu, hukum membunuh orang non muslim di Indonesia tetap saja haram kata beliau.
Bagaimana Pesantren Menyikapi Gerakan Islam Radikal
Tema ISIS dan gerakan Islam radikal pernah menjadi salah satu
pembahasan utama dalam FMPP, Forum Musyawarah Pondok Pesantren seJawa
dan Madura pada pertengahan April tahun 2015 silam di Ponpes Lirboyo.
Menurut kacamata syari’ah, tindakan gerakan Islam radikal, utamanya
ISIS, yang melakukan banyak penyimpangan, seperti terlibat dalam
serangan bom, penculikan, pembunuhan masal, dan perampasan harta
termasuk tindakan kejahatan berat menurut kacamata hukum Islam. Dalam
menstatuskan ISIS dan gerakan Islam radikal lain sendiri, mereka
termasuk distatuskan sebagai golongan ahlul baghyi, kelompok makar, dengan “kedok” cita-cita mendirikan hukum Islam. Dan dari tinjauan ideologi, mereka termasuk ke dalam kelompok ahlul bid’ah wa dholal, kelompok bid’ah dan sesat. Kemudian dalam menyikapi gerakan semacam ini sendiri, karena perilaku mereka termasuk tindakan munkarât,
maka tindakan yang tepat adalah amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan
pangkatnya. Yaitu, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat,
tentang perilaku menyimpang mereka, dan membantu upaya pencegahan
berkembangnya gerakan mereka di daerah masing-masing.
_______________
<Hasyiyah I’anah Al-Thalibin. Jilid 4. Hal 181. Cet, thoha putra semarang.
<Hasyiyah Al-Jamal jilid 5. Hal. 182-183. Cet. Dârul fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar