SELAMAT DATANG PARA SAHABAT BLOGGER DI BLOG SEDERHANA KAMI "MP" DAARUTTHOLABAH79.BLOGSPOT.COM.BLOG DARI SEORANG WNI YANG BERHARAP ADA PEMIMPIN DI NEGERI INI,BAIK SIPIL/MILITER YANG BERANI MENGEMBALIKAN PANCASILA DAN UUD 1945 YANG MURNI DAN KONSEKUEN TANPA EMBEL-EMBEL AMANDEMEN SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN HIDUP RAKYAT INDONESIA...BHINNEKA TUNGGAL IKA JADI KESEPAKATAN BERBANGSA DAN BERNEGARA,TOLERANSI DAN KESEDIAAN BERKORBAN JADI CIRINYA...AMIIN

Selasa, 18 Oktober 2016

ISLAM DALAM BINGKAI BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL


Islam lahir ditengah-tengah bangsa Arab yang punya ikatan kesukuan yang kuat. Satu sama lain saling membanggakan dan mengunggulkan suku dan jasanya. Mereka berlomba-lomba untuk menjadi semacam “ikatan rantai kuat”, namun sayang masih terpisah-pisah dan independen.Baru, setelah agama islam tersebar, nabi Muhammad SAW mengubah semangat kesukuan mereka, diubah menjadi semangat persaudaraan atas nama satu agama, agama islam. Asal masih satu agama, islam, tak ada yang perlu dibeda-bedakan. Setelah tersebarnya islam, tak sedikit orang yang akhirnya mau terang-terangan makan bersama budaknya. Padahal hal tersebut tabu pada masa pra islam. Yang dalam Alquran disebut era jahiliyyah, era kebodohan. Walâ tabarrujna tabarrujal jâhiliyyatil ûlâ.(QS. Al-Ahzab:33)
Sesuai dengan misinya yaitu untuk memurnikan kembali agama hanîf Nabi Ibrahim AS (Wattabi’ millata abîkum Ibrâhîm),yang sudah ternoda dengan beragam perilaku masyarakat Arab yang menyimpang, islam berupaya melepaskan diri dengan segala macam bentuk penyelewengan budaya yang sempat terjadi pada masa Jahiliyyah dengan metode dakwah yang bisa diterima masyarakat beriman. 
Namun tidak semua budaya bangsa Arab pra islam lantas diberangus dan dihapus begitu saja. Jika masih ada budaya yang tidak mengandung unsur negatif dan bisa dipertahankan,  maka islam akan mempertahankannya. Atau jika “budaya” tersebut melenceng dari asas-asas agama, maka syari’ akan mengubahnya, mengislamkannya menjadi lebih baik. Atau jika sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan karena bertentangan dengan nilai-nilai pokok agama, maka islam akan menghapusnya. Bahkan tak jarang sampai ke “akar-akarnya”. Hal ini seperti diungkapkan imam al-Dahlawi dalam Hujjatul Bâlighah, “Kedatangan Rasul SAW. adalah dengan misi meluruskan norma-norma yang tidak lagi sesuai dengan agama hanîf sambil tetap melestarikan budaya masyarakat Arab yang masih sejalan dengan nilai-nilai islam.”(ᵃ)
Senada dengan hal ini qâdhi ‘iyâdh menyinggung, “demikianlah, Rasulullah SAW memberlakukanumatnya. Agar dapat membantu mereka dalam urusan duniawi.,dan menjauhi hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak mereka. Meskipun sebenarnya, Rasulullah SAW menemukan pandangan yang lebih baik. Demikian ini juga beliau lakukan dalam urusan agama. Seperti sikap nabi yang membiarkan orang munafik tetap hidup, padahal beliau lebih tahu dan mengerti betul siapa-siapa saja mereka, perseorangannya. Hal tersebut beliau lakukan demi menjaga penilaian negatif bahwa Muhammad juga membunuh pengikutnya. Nabipun tidak merekonstruksi ka;bah sesuai dengan konstruksi nabi Ibrahim AS. Karena menjaga perasaan bangsa quraisy yang baru masuk islam. Khawatir menimbulkan ‘perasaan sentimen mereka terhadap beliau nabi.”(ᵇ) 
Islam dalam bingkai adaptasi budaya 
Banyak contoh terkait dengan wacana adaptasi budaya. Bukan tema yang mudah usang memang, karena bagaimanapun juga, relevansinya masih bisa kita “contoh” sampai sekarang. Paling tidak dalam mengemban misi dakwah menuju arus globalisasi. Ingat semboyan jam’iyyah nahdhatul ‘ulama, almuhâfadhoh ‘alal qodîmis shâlih, wal akhdhu bil jadîdil ashlah,mempertahankan hal-hal lama yang positif, dan mengembangkannya dengan inovasi-inovasi yang lebih baik? Setidaknya premis pertama dari motto tersebut, al muhâfadhoh ‘alal qodîmis shâlih adalah mengutip pola dakwah nabi Muhammad SAW dan walisongo. Sudah terlalu banyak cerita yang berkembang di masyarakat tentang walisongo dan budaya jawa. Dimana budaya jawa sukses diadaptasikan dengan nafas islam oleh sesepuh tanah jawa ini, tanpa menyinggung perasaan masyarakat luas.Seperti sudah disinggung diatas, sikap toleransi Nabi terhadap masyarakat termasuk “satu kunci pendorong” kesuksesan dakwah nabi Muhammad SAW di lingkungan yang keras seperti bangsa Arab. Tentu saja ditambah karakter Nabi yang lemah lembut. Sampai disinggung dalam Alquran ;
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali ‘imran:159)
Ini Seperti “konsep lama” KH. Abdurrahman Wahid tentang ide pribumisasi islam di Indonesia, bukan arabisasi islam. Karena Indonesia memiliki budaya sendiri yang sudah mapan dan justru berkesan “tidak enak” jika harus memaksakan impor budaya.
Banyak sekali contoh, jikalau islam mentoleransi budaya setempat, negeri dimana dia lahir. Dalam tamsil kasus berikut, islam mengenalkan pada dunia, bahwa ‘imamah, bersorban adalah ciri khas bangsa Arab pada umumnya. Sayyidina ‘Ali KRW pernah berkata :"Imamah adalah mahkota bangsa Arab. Para malakikat memakai imamah berwarna putih pada perang badr dan memakai ‘imamah merah pada perang hunain.
Nabi Muhammad SAW tidak melarang orang bersorban, dan cenderung mempertahankannya sebagi kesunahan. Budaya Arab ini, sabda nabi, akan membuat pahala salat yang dilakukan menjadi dilipat gandakan puluhan kali. Satu kali saja salat ber’imamah, akan lebih baik dari pada melakukan hingga dua puluh lima kali salat tanpa ‘imamah.
Sampai-sampai, menurut riwayat dari Imam Nawawi, Nabi Muhammad SAW, yang kita kenal dengan kesederhanaan dan kebersahajaannya, memiliki dua ‘imamah. Yang satu ‘imamahpanjang, sekitar dua belas hasta, dan yang lainnya ‘imamah pendek, enam hasta(ᵈ). Padahal Nabi selalu hidup dengan “secukupnya” dan tak berlebih-lebih.
Kemudian dalam Ihya’ Ulumudin,(ᵉ) imam Al-Gahzali berpanjang lebar menjelaskan tentang masalah lihyah, jenggot. Apa hukumnya?  Bagaimana jika kita panjangkan? Bagimana jika kita potong? Jika kita poyonng dengan motif ini, itu, dan sebagainya.  Beliua klarisifikasikan sampai sepuluh hal yang berbeda-beda. Bahkan secara tegas, beliau katakan makruh hukumnya mencabut jenggot tanpa alasan yang jelas.
Memelihara jenggot, satu lagi budaya Arab yang dikenalkan “lewat islam“. Orang Arab, banyak yang memelihara jenggotnya dengan baik, sebagai salah satu simbol atau eksistensi.
Dari Anas bin Malik –pembantu Rasulullah SAW- mengatakan :
Rasulullah SAW bukanlah laki-laki yang berperawakan terlalu tinggi dan tidak juga pendek. Kulitnya tidaklah putih sekali dan tidak juga coklat. Rambutnya tidak keriting dan tidak lurus. Allah mengutus beliau sebagai Rasul di saat beliau berumur empat puluh tahun, lalu tinggal di Makkah selama sepuluh tahun. Kemudian tinggal di Madinah selama sepuluh tahun pula, lalu wafat di penghujung tahun enam puluhan. Di kepala serta jenggotnya hanya terdapat dua puluh helai rambut yang sudah putih.”(ᶠ )
‘Imamah dan jenggot dikenalkan oleh bangsa Arab kepada dunia berkurun-kurun berikutnya. Ditiru, bahkan kemudian dilestarikan salah satunya sebagai upaya menjalankan sunnah nabi.Kemudian dari semua budaya Arab yang ada, ada juga yang diganti dengan yang lebih baik. Bukan lantas serta-merta dihapus sepihak.
Islam juga menghapus eksistensi beberapa budaya yang menyimpang secara total. Sejarah diharamkannya khamr, arak adalah kisah yang sangat terkenal dan dijadikan i’tibar bagi tokoh pemimpin dimasa kemudian, dimana untuk menghapus suatu kebiasaan yang mutlak mendarah daging harus bertahap, jika tidak justru akan timbul dua kemungkinan buruk, rakyat yang menolak secara total, atau kegagalan itu sendiri. Alquran “menyindir” khamr dalam empat ayat yang diturunkan bertahap. konon suatu ketika, putra dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 720 ) mengusulkan kepada ayahnya untuk memberantas korupsi secara serempak, tegas, dan tuntas. sang khalifapun berkomentar, “Jika aku mengambil tindakan drastis bahkan untuk maksud baik sekalipun, dan memaksakan hal tersebut kepada orang-orang secara serentaak, aku takut akan terjadi pemberontakan dan kemungkinan bahwa mereka akan menolak serentak juga.
Pada Akhirnya
Penting untuk mengetahui batas-batas antara mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. Untuk kemudian bertransformasi dan membaur dengan budaya yang berkembang. Jika budaya menabrak pakem maka tak ada alasan untuk mempertahankannya. Namun masih ada solusi, mengubahnya agar berjalan sesuai doktrin agama.Untuk mengenalkan islam yang hakiki kepada mereka butuh strategi. Dalam sejarah,Raden Syahid atau Sunan Kalijogo mengubah wayang Purwo yang sebelumnya berupa wayang golek, membuat seni ukir bermotif bunga dan dedaunan yang sebelunya dibuat dengan motif gambar manusia dan hewan. Sunan Kudus merasa enggan untuk menyembelih sapi, bentuk toleransi beliau kepada masyarakat kudus yang semula beragama Hindu. Beberapa bangunan masjid, seperti Masjid Demak, dan Masjid Banten, dibuat meniru arsitektur kuno Majapahit. Kita belajar kepada walisongo yang menyebarkan islam dengan baik-baik. Bersikap toleran kepada kearifan lokal, hingga dengan sendirinya masyarakat akan penasaran dengan islam itu sendiri.
Akhirnya, kembali kepada kita bagaimana akan bersikap. Mengenalkan islam dengan cara yang baik kepada pemeluk agama lain, agar semakin banyak yang tertarik dan menaruh simpati kepada islam.Dan makin percaya bahwa islam adalah agama yang penuh damai dan toleransi.jika kita terlalu, egois dan cenderung menjaga jarak dengan pemeluk agama lain, maka lewat siapa lagi mereka akan mengenal islam yang sejati?[]
(ᵃ) Hujjatul bâlighah: jilid 1. Hal. 284. Cet. Dârul fikr.
(ᵇ) AlSyifâ, bita’rifi huquql musthafa. Maktb. Syamilah11:200
(ᵈ) Dikutip dalam i’anah thalibin jilid 2. Hal. 82/ cet. Thoha putra.
(ᵉ) Ihya’ Ulumuddin. Jilid 1. Hal. 132-134 cet. Darul Fikr.
(ᶠ )Periksa Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal. 13
(ᵍ) Hikmah al-tasyri’ wa falsafatuh: jilid 1. Hal, 92 cet. Darul fikr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar