Islam
lahir ditengah-tengah bangsa Arab yang punya ikatan kesukuan yang kuat.
Satu sama lain saling membanggakan dan mengunggulkan suku dan jasanya.
Mereka berlomba-lomba untuk menjadi semacam “ikatan rantai kuat”, namun
sayang masih terpisah-pisah dan independen.Baru, setelah agama islam
tersebar, nabi Muhammad SAW mengubah semangat kesukuan mereka, diubah
menjadi semangat persaudaraan atas nama satu agama, agama islam. Asal
masih satu agama, islam, tak ada yang perlu dibeda-bedakan. Setelah
tersebarnya islam, tak sedikit orang yang akhirnya mau terang-terangan
makan bersama budaknya. Padahal hal tersebut tabu pada masa pra islam.
Yang dalam Alquran disebut era jahiliyyah, era kebodohan. Walâ tabarrujna tabarrujal jâhiliyyatil ûlâ.(QS. Al-Ahzab:33)
Sesuai dengan misinya yaitu untuk memurnikan kembali agama hanîf Nabi Ibrahim AS (Wattabi’ millata abîkum Ibrâhîm),yang
sudah ternoda dengan beragam perilaku masyarakat Arab yang menyimpang,
islam berupaya melepaskan diri dengan segala macam bentuk penyelewengan
budaya yang sempat terjadi pada masa Jahiliyyah dengan metode dakwah
yang bisa diterima masyarakat beriman.
Namun
tidak semua budaya bangsa Arab pra islam lantas diberangus dan dihapus
begitu saja. Jika masih ada budaya yang tidak mengandung unsur negatif
dan bisa dipertahankan, maka islam akan mempertahankannya. Atau jika
“budaya” tersebut melenceng dari asas-asas agama, maka syari’ akan
mengubahnya, mengislamkannya menjadi lebih baik. Atau jika sudah tidak
layak lagi untuk dipertahankan karena bertentangan dengan nilai-nilai
pokok agama, maka islam akan menghapusnya. Bahkan tak jarang sampai ke
“akar-akarnya”. Hal ini seperti diungkapkan imam al-Dahlawi dalam
Hujjatul Bâlighah, “Kedatangan
Rasul SAW. adalah dengan misi meluruskan norma-norma yang tidak lagi
sesuai dengan agama hanîf sambil tetap melestarikan budaya masyarakat
Arab yang masih sejalan dengan nilai-nilai islam.”(ᵃ)
Senada dengan hal ini qâdhi ‘iyâdh menyinggung, “demikianlah,
Rasulullah SAW memberlakukanumatnya. Agar dapat membantu mereka dalam
urusan duniawi.,dan menjauhi hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak
mereka. Meskipun sebenarnya, Rasulullah SAW menemukan pandangan yang
lebih baik. Demikian ini juga beliau lakukan dalam urusan agama. Seperti
sikap nabi yang membiarkan orang munafik tetap hidup, padahal beliau
lebih tahu dan mengerti betul siapa-siapa saja mereka, perseorangannya.
Hal tersebut beliau lakukan demi menjaga penilaian negatif bahwa Muhammad
juga membunuh pengikutnya. Nabipun tidak merekonstruksi ka;bah sesuai
dengan konstruksi nabi Ibrahim AS. Karena menjaga perasaan bangsa
quraisy yang baru masuk islam. Khawatir menimbulkan ‘perasaan sentimen
mereka terhadap beliau nabi.”(ᵇ)
Islam dalam bingkai adaptasi budaya
Banyak
contoh terkait dengan wacana adaptasi budaya. Bukan tema yang mudah
usang memang, karena bagaimanapun juga, relevansinya masih bisa kita
“contoh” sampai sekarang. Paling tidak dalam mengemban misi dakwah
menuju arus globalisasi. Ingat semboyan jam’iyyah nahdhatul ‘ulama, almuhâfadhoh ‘alal qodîmis shâlih, wal akhdhu bil jadîdil ashlah,mempertahankan
hal-hal lama yang positif, dan mengembangkannya dengan inovasi-inovasi
yang lebih baik? Setidaknya premis pertama dari motto tersebut, al muhâfadhoh ‘alal qodîmis shâlih adalah
mengutip pola dakwah nabi Muhammad SAW dan walisongo. Sudah terlalu
banyak cerita yang berkembang di masyarakat tentang walisongo dan budaya
jawa. Dimana budaya jawa sukses diadaptasikan dengan nafas islam oleh
sesepuh tanah jawa ini, tanpa menyinggung perasaan masyarakat luas.Seperti sudah disinggung diatas, sikap toleransi
Nabi terhadap masyarakat termasuk “satu kunci pendorong” kesuksesan
dakwah nabi Muhammad SAW di lingkungan yang keras seperti bangsa Arab.
Tentu saja ditambah karakter Nabi yang lemah lembut. Sampai disinggung
dalam Alquran ;
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali ‘imran:159)
Ini Seperti
“konsep lama” KH. Abdurrahman Wahid tentang ide pribumisasi islam di
Indonesia, bukan arabisasi islam. Karena Indonesia memiliki budaya
sendiri yang sudah mapan dan justru berkesan “tidak enak” jika harus
memaksakan impor budaya.
Banyak
sekali contoh, jikalau islam mentoleransi budaya setempat, negeri
dimana dia lahir. Dalam tamsil kasus berikut, islam mengenalkan pada
dunia, bahwa ‘imamah, bersorban adalah ciri khas bangsa Arab pada umumnya. Sayyidina ‘Ali KRW pernah berkata :"Imamah
adalah mahkota bangsa Arab. Para malakikat memakai imamah berwarna
putih pada perang badr dan memakai ‘imamah merah pada perang hunain.”
Nabi
Muhammad SAW tidak melarang orang bersorban, dan cenderung
mempertahankannya sebagi kesunahan. Budaya Arab ini, sabda nabi, akan
membuat pahala salat yang dilakukan menjadi dilipat gandakan puluhan
kali. Satu kali saja salat ber’imamah, akan lebih baik dari pada melakukan hingga dua puluh lima kali salat tanpa ‘imamah.
Sampai-sampai,
menurut riwayat dari Imam Nawawi, Nabi Muhammad SAW, yang kita kenal
dengan kesederhanaan dan kebersahajaannya, memiliki dua ‘imamah. Yang satu ‘imamahpanjang, sekitar dua belas hasta, dan yang lainnya ‘imamah pendek, enam hasta(ᵈ). Padahal Nabi selalu hidup dengan “secukupnya” dan tak berlebih-lebih.
Kemudian dalam Ihya’ Ulumudin,(ᵉ) imam Al-Gahzali berpanjang lebar menjelaskan tentang masalah lihyah, jenggot.
Apa hukumnya? Bagaimana jika kita panjangkan? Bagimana jika kita
potong? Jika kita poyonng dengan motif ini, itu, dan sebagainya. Beliua
klarisifikasikan sampai sepuluh hal yang berbeda-beda. Bahkan secara
tegas, beliau katakan makruh hukumnya mencabut jenggot tanpa alasan yang
jelas.
Memelihara
jenggot, satu lagi budaya Arab yang dikenalkan “lewat islam“. Orang
Arab, banyak yang memelihara jenggotnya dengan baik, sebagai salah satu
simbol atau eksistensi.
Dari Anas bin Malik –pembantu Rasulullah SAW- mengatakan :
”Rasulullah
SAW bukanlah laki-laki yang berperawakan terlalu tinggi dan tidak juga
pendek. Kulitnya tidaklah putih sekali dan tidak juga coklat. Rambutnya
tidak keriting dan tidak lurus. Allah mengutus beliau sebagai Rasul di
saat beliau berumur empat puluh tahun, lalu tinggal di Makkah selama
sepuluh tahun. Kemudian tinggal di Madinah selama sepuluh tahun pula,
lalu wafat di penghujung tahun enam puluhan. Di kepala serta jenggotnya
hanya terdapat dua puluh helai rambut yang sudah putih.”(ᶠ )
‘Imamah
dan jenggot dikenalkan oleh bangsa Arab kepada dunia berkurun-kurun
berikutnya. Ditiru, bahkan kemudian dilestarikan salah satunya sebagai
upaya menjalankan sunnah nabi.Kemudian dari semua budaya Arab yang ada,
ada juga yang diganti dengan yang lebih baik. Bukan lantas serta-merta
dihapus sepihak.
Islam
juga menghapus eksistensi beberapa budaya yang menyimpang secara total.
Sejarah diharamkannya khamr, arak adalah kisah yang sangat terkenal dan
dijadikan i’tibar bagi
tokoh pemimpin dimasa kemudian, dimana untuk menghapus suatu kebiasaan
yang mutlak mendarah daging harus bertahap, jika tidak justru akan
timbul dua kemungkinan buruk, rakyat yang menolak secara total, atau
kegagalan itu sendiri. Alquran “menyindir” khamr dalam empat ayat yang
diturunkan bertahap. konon suatu ketika, putra dari Khalifah Umar bin
Abdul Aziz (w. 720 ) mengusulkan kepada ayahnya untuk memberantas
korupsi secara serempak, tegas, dan tuntas. sang khalifapun berkomentar,
“Jika
aku mengambil tindakan drastis bahkan untuk maksud baik sekalipun, dan
memaksakan hal tersebut kepada orang-orang secara serentaak, aku takut
akan terjadi pemberontakan dan kemungkinan bahwa mereka akan menolak
serentak juga.”
Pada Akhirnya
Penting
untuk mengetahui batas-batas antara mana yang diperbolehkan dan mana
yang dilarang. Untuk kemudian bertransformasi dan membaur dengan budaya
yang berkembang. Jika budaya menabrak pakem maka tak ada alasan untuk
mempertahankannya. Namun masih ada solusi, mengubahnya agar berjalan
sesuai doktrin agama.Untuk mengenalkan islam yang hakiki kepada mereka
butuh strategi. Dalam sejarah,Raden Syahid atau Sunan Kalijogo mengubah
wayang Purwo yang sebelumnya berupa wayang golek, membuat seni ukir
bermotif bunga dan dedaunan yang sebelunya dibuat dengan motif gambar
manusia dan hewan. Sunan Kudus merasa enggan untuk menyembelih sapi,
bentuk toleransi beliau kepada masyarakat kudus yang semula beragama
Hindu. Beberapa bangunan masjid, seperti Masjid Demak, dan Masjid
Banten, dibuat meniru arsitektur kuno Majapahit. Kita belajar kepada
walisongo yang menyebarkan islam dengan baik-baik. Bersikap toleran
kepada kearifan lokal, hingga dengan sendirinya masyarakat akan
penasaran dengan islam itu sendiri.
Akhirnya,
kembali kepada kita bagaimana akan bersikap. Mengenalkan islam dengan
cara yang baik kepada pemeluk agama lain, agar semakin banyak yang
tertarik dan menaruh simpati kepada islam.Dan makin percaya bahwa islam
adalah agama yang penuh damai dan toleransi.jika kita terlalu, egois dan
cenderung menjaga jarak dengan pemeluk agama lain, maka lewat siapa
lagi mereka akan mengenal islam yang sejati?[]
(ᵃ) Hujjatul bâlighah: jilid 1. Hal. 284. Cet. Dârul fikr.
(ᵇ) AlSyifâ, bita’rifi huquql musthafa. Maktb. Syamilah11:200
(ᵈ) Dikutip dalam i’anah thalibin jilid 2. Hal. 82/ cet. Thoha putra.
(ᵉ) Ihya’ Ulumuddin. Jilid 1. Hal. 132-134 cet. Darul Fikr.
(ᶠ )Periksa Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal. 13
(ᵍ) Hikmah al-tasyri’ wa falsafatuh: jilid 1. Hal, 92 cet. Darul fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar