BERPETUALANG ke selatan Jawa Tengah, belum sahih apabila tak mengunjungi kota yang terkenal dengan buntil dan getuk khas-nya. Sebuah kota yang terjaga dalam kotak sejarah, dan terlingkupi dengan nuansa kesejukan yang belum mau pudar.
Kota Magelang. Kota yang berkembang dari desa perdikan Mantyasih (sekarang dikenal dengan Kampung Meteseh) ini mengemban jejak leluhur yang terabadikan dalam dua buah prasasti, Poh dan Mantyasih. Kedua prasasti ini ditulis pada masa Mataram Hindu, atau tepatnya pada masa pemerintahan Raja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh, sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Ketaatan warga Magelang pada tapak historis, terlihat pada penetapan tanggal hari jadi Kota Magelang yang mengambil tanggal penetapan desa Mantyasih sebagai desa perdikan, yakni 11 April 907 Masehi (829 Saka). Prasasti yang ditemukan di Magelang Utara ini, selain untuk melegitimasi Balitung sebagai pewaris tahta yang sah, juga disebutkan penetapan desa Mantyasih sebagai desa perdikan (daerah bebas pajak). Selain bukti prasasri, di kampung Meteseh masih bisa ditemui sebuah lumpang batu,yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan sima atau desa perdikan.
Mantyasih bermakna “beriman dalam cinta kasih”. Selain Mantyasih, prasasti yang juga ditemukan di Magelang adalah Prasasti Canggal dengan rangka tahun 654 Saka (732 Masehi). Prasasti yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, ini, berisi pernyataan diri Raja Sanjaya sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram Kuno.
(Fadhil Nugroho/CN41/SMNetwork)
(Fadhil Nugroho/CN41/SMNetwork)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar