SELAMAT DATANG PARA SAHABAT BLOGGER DI BLOG SEDERHANA KAMI "MP" DAARUTTHOLABAH79.BLOGSPOT.COM.BLOG DARI SEORANG WNI YANG BERHARAP ADA PEMIMPIN DI NEGERI INI,BAIK SIPIL/MILITER YANG BERANI MENGEMBALIKAN PANCASILA DAN UUD 1945 YANG MURNI DAN KONSEKUEN TANPA EMBEL-EMBEL AMANDEMEN SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN HIDUP RAKYAT INDONESIA...BHINNEKA TUNGGAL IKA JADI KESEPAKATAN BERBANGSA DAN BERNEGARA,TOLERANSI DAN KESEDIAAN BERKORBAN JADI CIRINYA...AMIIN

Selasa, 11 Oktober 2016

FIQHUZ-ZAKAT 2 - ZAKAT PENGHASILAN/PROFESI

Zakat atas penghasilan atau zakat  profesi adalah istilah yang muncul dewasa ini. Adapun istilah Ulama salaf bagi zakat atas penghasilan atau profesi biasanya di sebut dengan “Almalul mustafad”. Yang termasuk dalam kategori zakat mustafadadalah,  pendapatan yang dihasilkan dari profesi non zakat yang dijalani,  seperti gaji pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, dan lain-lain, atau rezeki yang di hasilkan secara tidak terduga seperti undian, kuis berhadiah (yang tidak mengandung unsur judi), dan lain-lain.
Mayoritas Ulama’ tidak mewajibkan zakat atas hasil yang didapat dengan cara di atas. Namun ulama’ kontemporer seperti D.R.Yusuf Qordlowi berpendapat wajib di keluarkan zakatnya, hal demikian merujuk pada salah satu riwayat pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal (Madzhab Hanbali) dan beberapa riwayat yang menjelaskan hal tersebut.[1]
Diantaranya adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud, Mu’awiyyah, Awza’i dan Umar bin Abdul Aziz yang menjelaskan bahwa beliau mengambil zakat dari ‘athoyat (gaji rutin), jawaiz (hadiah) dan almadholim (barang ghosob/curian yang di kembalikan). Abu Ubaid meriwayatkan,  Adalah Umar  bin Abdul Aziz, memberi upah pada pekerjanya dan mengambil zakatnya, dan apabila mengembalikan almadholim (barang ghosob/curiang yang di kembalikan) diambil zakatnya, dan beliau juga mengambil zakat dari ‘athoyat (gaji rutin) yang di berikan kepada yang menerimanya.

Atas dalil-dalil tersebut di atas dengan merujuk pada Madzhab Hanbali, beberapa ulama kontemporer berpendapat  adanya zakat atas upah atau hadiah yang di peroleh seseorang. Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya atau hadiah yang didapat menjadi kaya, maka ia wajib zakat atas kekayaan tersebut. Akan tetapi  jika hasil yang di dapat hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, atau lebih sedikit, maka baginya tidak wajib zakat, bahkan apabila hasilnya tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya maka ia tergolong mustahiq zakat.[2]

Nishob dan kadar zakat mustafad
Ada beberapa pendapat yang muncul mengenai nishob dan kadar zakat profesi, yang di kemukakan oleh beberapa Ulama kontemporer, berikut masing-masing pendapat tersebur :
1.Menganalogikan (men-qiyas-kan) secara mutlak dengan hasil pertanian,   baik  nishob maupun  kadar  zakatnya.  Dengan  demikian nishobnya adalah setara dengan nishobhasil pertanian yaitu 652,5 kg beras (hasil konversi D.R.Wahbah Azzuhaili), kadar yang harus di keluarkan 5% dan harus dikeluarkan setiap menerima.
2.Menganalogikan nishobnya dengan zakat hasil pertanian, sedangkan kadar zakatnya dianalogkan dengan emas yakni 2,5%. Hal tersebut berdasarkan atas qiyas atas kemiripan (qiyas syabah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah ada, yakni :
- Model memperoleh harta tersebut mirip dengan panen hasil pertanian. Dengan demikian maka dapat di qiyaskan dengan zakat pertanian dalam hal nishobnya.
- Model bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan adalah  berupa mata uang. Oleh sebab itu, bentuk harta ini dapat diqiyaskan dengan zakat emas dan perak(naqd) dalam hal kadar zakat yang harus di keluarkan yaitu 2,5%.Adapun pola penghitungan nishobnya adalah dengan mengakumulasikan pendapatan perbulan di akhir tahun atau ditunaikan setiap menerima dengan syarat mencapai nishob

3.Mengkategorikan dalam zakat emas/perak dengan mengacu pada pendapat yang menyamakan mata uang masa kini dengan emas/perak.Dengan demikian nishobnya adalah setara dengan nishob emas/perak.Adapun kadar yang harus dikeluarkan adalah 2,5% sedangkan waktu menunaikan zakatnya adalah segera setelah menerima tanpa menunggu haul.
Pendapat ketiga inilah yang saya ambil sebagai pegangan,  karena sesuai dengan yang tercantum didalam kitab Madzhab Hanbali yang menjadi acuan atas diwajibkannya zakat profesi dan pendapatan tak terduga  tanpa harus menganalogkan (men-qiyas-kan) secara paksa dengan zakat-zakat yang lain dengan mempertimbangkan kemampuan menganalogkan (men-qiyas-kan) permasalahan,  sehingga menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan hukum.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar