SELAMAT DATANG PARA SAHABAT BLOGGER DI BLOG SEDERHANA KAMI "MP" DAARUTTHOLABAH79.BLOGSPOT.COM.BLOG DARI SEORANG WNI YANG BERHARAP ADA PEMIMPIN DI NEGERI INI,BAIK SIPIL/MILITER YANG BERANI MENGEMBALIKAN PANCASILA DAN UUD 1945 YANG MURNI DAN KONSEKUEN TANPA EMBEL-EMBEL AMANDEMEN SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PANDANGAN HIDUP RAKYAT INDONESIA...BHINNEKA TUNGGAL IKA JADI KESEPAKATAN BERBANGSA DAN BERNEGARA,TOLERANSI DAN KESEDIAAN BERKORBAN JADI CIRINYA...AMIIN

Rabu, 30 Maret 2016

AQIDAH IMAM SYAFI'I

Lebih fokus terhadap Aqidah imam syafi’i. Bagaimana pemahaman beliau tentang sifat-sifat Allah SWT? Atau bagaimana ketauhidan imam syafi’i? Apakah beliau imam Syafi’i membagi tauhid menjadi tiga bagian? Dan apakah imam Syafi’i menetapkan Allah SWT diatas Arsy-nya?. Mari kita membahas secara perlahan masalah pemahaman Imam Syafi’i rohimahullah. Mari kita berangkat dari riwayat hadist berikut : حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، حَدَّثَنَا أَبِيْ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، حَدَّثَنَا جَامِعُ بْنُ شَدَّادٍ، عَنْ صَفْوَانَ بْنِ مُحْرِزٍ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَقَلْتُ نَاقَتِيْ بِالْبَابِ، فَأَتَاهُ نَاسٌ مِنْ بَنِيْ تَمِيْمٍ فَقَالَ ‏: اقْبَلُوْا الْبُشْرَى يَا بَنِيْ تَمِيْمٍ‏‏.‏ قَالُوْا : قَدْ بَشَّرْتَنَا فَأَعْطِنَا مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ دَخَلَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالَ : اقْبَلُوْا الْبُشْرَى يَا أَهْلَ الْيَمَنِ، إِذْ لَمْ يَقْبَلْهَا بَنُوْ تَمِيْمٍ‏‏.‏ قَالُوْا : قَدْ قَبِلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالُوْا : جِئْنَاكَ نَسْأَلُكَ عَنْ هَذَا الأَمْرِ، قَالَ : كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىْءٌ غَيْرُهُ، وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ، وَكَتَبَ فِي الذِّكْرِ كُلَّ شَىْءٍ، وَخَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ‏‏،‏ فَنَادَى مُنَادٍ : ذَهَبَتْ نَاقَتُكَ يَا ابْنَ الْحُصَيْنِ‏.‏ فَانْطَلَقْتُ فَإِذَا هِيَ يَقْطَعُ دُوْنَهَا السَّرَابُ، فَوَاللهِ لَوَدِدْتُ أَنِّيْ كُنْتُ تَرَكْتُهَا‏.‏ “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan (Azaly), tidak suatu apapun pada azal selain Dia. Dan adalah arsy-Nya berada di atas air. Kemudian Dia menuliskan di atas adz-Dzikr (al-Lauh al-mahfuzh) segala sesuatu, lalu Dia menciptakan seluruh lapisan langit dan bumi”. [HR. Al-Bukhari, Al-Muslim, Al-Bayhaqi, Al-Imam Ibn al-Jarud dan lainnya]

Ada penjelasan yang sangat penting terkait dengan hadits ini, sebagai berikut : Kualitas hadits ini Shahih diriwayatkan oleh banyak ahli hadits. Cukup bagi kita tentang ke-shahih-annya bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Mulim dalam kedua kitab Shahih-nya. Bahkan al-Bukhari mengutip hadits ini dari berbagai jalur sanad dari al-A’masy, yang tentunya seluruh jalur sanad tersebut adalah shahih. Al-Imam al-Bukhari sendiri meletakan hadits ini dalam kitab Shahih-nya pada urutan pertama dalam sub judul “Bab tentang kedatangan kaum Asy’ariyyah dan para penduduk Yaman”. Hadits diatas ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa segala sesuatu adalah makhluk Allah. Sebelum Allah menciptakan makhluk-makhluk tersebut tidak ada apapun selain-Nya. Tidak ada bumi, tidak ada langit, tidak ada kursi, tidak ada arsy, tidak ada waktu, tidak ada tempat, dan tidak ada apapun, bahwa yang ada hanya Allah saja. Artinya, bahwa hanya Allah yang tidak memiliki permulaan (Azalyy). Dengan demikian hadits ini merupakan bantahan atas kaum filsafat yang mengatakan bahwa alam ini tidak bermula (Qadim). Dan Hadits ini sangat jelas memberikan pemahaman kepada kita bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena tempat dan arah adalah makhluk Allah. Sebelum menciptakan tempat dan arah Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka demikian pula setelah menciptakan tempat dan arah Allah tetap ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena Allah tidak membutuhkan kepada ciptaan-Nya sendiri. Al Imam Al Syafi'i Rahimahullah, beliau berkata: قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إدريس الشافعي رضي الله عنه : آمنت بالله وبما جاء عن الله ، على مراد الله ، وآمنت برسول الله ، وبما جاء عن رسول الله على مراد رسول الله Aku beriman kepada Allah dan kepada segala yang telah di khabarkan-Nya dengan menyerahkan maksudnya kepada-Nya. Dan aku beriman kepada Rasulullah dan kepada segala  yang telah diberitakan-nya dengan menyerahkan maksudnya kepada-nya. (menyerahkan ma’na ayat mutasyabihat kepadanya). Berdasarkan uraian dalam kitab beliau menjelaskan tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), 
Imam asy-Syafi’i berkata : إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13) “Ini termasuk ayat mutasyabihat. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki keahlian di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak mempunyai keahlian dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang ini dan semua orang Islam adalah meyakini saja bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah. Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar [selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar].
Imam asy-Syafi’i berkata : واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13) “Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” [al-Fiqh al-Akbar, h. 13]. إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24) “Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (Az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin, j. 2, h. 24). 
Oleh karena itu Al-Imam as-Syafi’i mempertegas sebagai berikut : فَإنْ قِيْل: أليْسَ قَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى (الرّحْمنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى)، يُقَال: إنّ هذِهِ الآيَة مِنَ الْمُتَشَابِهَاتِ، وَالّذِيْ نَخْتَارُ مِنَ الْجَوَابِ عَنْهَا وَعَنْ أمْثَالِه...َا لِمَنْ لاَ يُرِيْدُ التّبَحُّر فِي العِلْمِ أنْ يُمِرَّ بِهَا كَمَا جَاءَتْ وَلاَ يَبْحَثُ عَنْهَا وَلاَ يَتَكَلّمُ فيْهَا لأنّهُ لاَ يَأمَنُ مِنَ الوُقُوْعِ فِي وَرَطَةِ التّشْبِيْهِ إذَا لَمْ يَكُنْ رَاسِخًا فِي العِلْمِ، وَيَجِبُ أنْ يَعْتَقِدَ فِي صِفَاتِ البَارِي تَعَالَى مَاذَكَرْنَاهُ، وَأنّهُ لاَ يَحْويْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِي عَليْهِ زَمَانٌ، مُنَزَّهٌ عَنِ الحُدُوْدِ وَالنّهَايَاتِ، مُسْتَغْنٍ عَنِ الْمَكَانِ وَالْجِهَاتِ، وَيَتَخَلَّصُ مِن َالمَهَالِكِ وَالشُّبُهَاتِ. “Jika dikatakan bukankah Allah telah berfirman: “ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa”? Jawab: Ayat ini termasuk ayat mutasyabihat. Sikap yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya ialah bahwa bagi seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ini agar supaya mengimaninya dan tidak secara mendetail membahasnya atau membicarakannya. Sebab seorang yang tidak memiliki kompetensi dalam hal ini ia tidak akan aman, ia akan jatuh dalam kesesatan tasybih. Kewajiban atas orang semacam ini, juga untuk seluruh orang Islam, adalah meyakini bahwa Allah -seperti yang telah kita sebutkan di atas-, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya waktu dan zaman. Dia maha suci dari segala batasan atau bentuk dan segala penghabisan. Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah. Dengan demikian orang ini menjadi selamat dari kehancuran dan kesesatan” [al-Kaukab al-Azhar Syarh al-Fiqh al-Akbar, hal. 13]

Wallahu A’lam. © Post Original & Official®
 █║▌│█│║▌║││█║▌║▌║
Verified Official by Soffah.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar